kisah perjalanan spiritual para wali allah
KumpulanKaromah Wali Allah, Robiatul Adawiyah; Jari-jarinya Menjadi "Lampu" (1) Rabi'ah al-Adawiyah adalah sedikit dari ulama sufi perempuan yang sangat disegani dalam sejarah peradaban Islam. Pemikiran dan prilaku spiritualnya terus dikaji hingga hari ini. Berbagai macam kisah hidupnya pun sudah banyak dikupas dan ditulis dalam banyak buku.
Taklama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun. Lepas dari berbagai versi, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam, khususnya di kalangan masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.
1109/2020. Maryam Binti 'Imran. Maryam Binti 'Imran adalah perempuan yang dipotret secara sempurna di dalam Al Quran. Sejak Ia dikandung Ibunya, hingga proses kedekatannya dengan Allah. Ia juga merupakan sosok perempuan yang menjadi Wali Allah. Sebagaimana firman Allah pada Surat Ali Imran ayat 42.
Suatupagi di Kota Kediri Gus Miek beserta Miftah berjalan-jalan dengan menaiki sepeda. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Gus Miek mengajak berhenti "Miftah kamu nanti ikut bersalaman dengan orang itu," katanya sambil menunjuk seorang pengemis yang sedang meminta-minta.. Keduanya lalu menunggu setelah ada orang yang memberi, pengemis itu berdiri dan beranjak pergi.
Diatelah bertemu Nabi Isa, Musa, dan Muhammad—yang telah memberi instruksi spiritual untuknya. Pertemuan spiritual ini bisa dikatakan adalah titik permulaan perjalanan spiritual Ibn 'Arabi muda. Sejak itu, ia mendapat banyak pengalaman spiritual seperti ini. Malah sepanjang hidupnya penuh dengan pengalaman mukasyafah dan musyahadah.
Wie Kann Ich Einen Mann Kennenlernen. Bahaudin Nur Salim atau yang lebih dikenal dengan Gus Baha dalam ceramahnya seringkali bercerita tentang kisah-kisah para wali, tetapi ada hal yang menarik dari beliau. Beliau lebih banyak bercerita tentang wali bukan karena keramat-keramatnya, akan tetapi beliau bercerita tentang bagaimana para wali berhubungan atau bermunajat dengan Allah suatu ketika beliau bercerita tentang kisah seorang wali yang ahli ibadah dengan mengutip kitab Syarah atas kitab Hikam karangan Ibnu Atha’illah as-Sakandari yang wafat pada tahun 709 hijriyah. kisah para wali“Ada cerita lucu, masyhur itu. Ada seorang wali, tapi tukang hamal pemikul barang. Karena dia seorang wali, setelah dapat makan satu piring, dia merasa cukup, kemudian pulang dia, karena tidak ingin kaya. Setelah itu dia ibadah terus,” cerita Gus ketika wali tersebut bermunajat kepada Allah agar dibeli kemudahan mencari rejeki tanpa harus bekerja keras menjadi buruh pikul, karena dia hanya butuh sedikit harta untuk keperluan ibadah saja. Kemudian, pada suatu waktu si wali tadi mendapat ujian dengan dituduh sebagai pencuri di pasar dan akhirnya ditahan di penjara. Di penjara tersebut, wali tadi mendapat makan setiap pagi dan sore. Kemudian si wali tadi bermunajat.“Ya Allah kenapa jadinya begini. Kemudian mendapat balasan, kan kamu minta rizki tanpa kerja, ya dipenjara itu,” tutur Gus Baha yang disambut gelak tawa para waktu ketika Gus Baha menjadi pembicara di acara Haul Abdul Hamid Pasuran beliau menuturkan kisahnya untuk ingin menjadi wali.“Begini, dulu saya pernah cita-cita jadi wali, karena punya pernah mbah wali yaitu Abdul Hamid. Kecil saya itu sering diajak sowan Mbah Hamid, setelah agak besar kok prosedurnya agak sulit,” dawuh Gus Baha yang membuat para audien kita yang sebelumnya sering mendengarkan atau mengikuti pengajian beliau, beliau selalu guyon ingin menjadi wali, tetapi bisa saja itu bukan guyonan tapi memang keinginan beliau. Ketika beliau sedang satu forum dengan kiai lain, beliau sering mengajak untuk berlomba menjadi wali dengan kiai suatu waktu yaitu dalam acara Haul Ahmad Shiddiq yang merupakan pengajian terakhir beliau di publik sebelum wabah saat ini menjadi parah, beliau menjelaskan mengapa selalu mengampanyekan diri untuk ingin menjadi wali.“Kenapa saya akhir-akhir ini sering gulirkan daftar menjadi wali. Karena saya ini resah, orang sudah ingin dicintai pejabat, dicintai tetangga, dan dicintai teman. Kadang-kadang orang itu lupa untuk ingin dicintai Allah. Makanya meskipun saya guyon, tapi ini amdan sengaja bukan sahwan. Supaya orang punya cita-cita lagi jadi wali, ingin dicintai Allah. Kita ini terlalu lama ingin dicintai mahluk. Mbok yaho naik kelas sedikit, ingin dicintai Allah,” papar Gus Gus Baha sering mengatakan sulitnya menjadi wali, beliau juga memberikan cara mudah menjadi wali melalui sebuah cerita dari kisah Syaikh Abu Yazid al-Bustomi.“Banyak kitab yang menjelaskan bahwa Abu Yazid al-Butomi pernah tanya kepada Allah. Ya Allah, orang hebat seperti saya itu siapa?” cerita Gus Yazid al-Bustomi yang merupakan tokoh sufi yang sudah masyhur sebagai ahli ibadah. Kemudian ada hatif suara tanpa rupa yang merupakan jawaban dari pertanyaan beliau, dan mengatakan bahwa ada orang yang lebih hebat daripada dia, yaitu orang di sebelahnya yang sedang tidur. Kemudian beliau bertanya lagi mengapa orang tersebut lebih hebat dari beliau.“Ini orang sama saya khusnudzon, tau bahwa saya ini Allah baik sekali, makanya ditinggal tidur. Kalau kamu ibadah terus, jadi ada gimananya sama saya disambut gelak tawa jemaah. Kamu jadi wali yang jalur itu saja,” ucap Gus Baha membuat jemaah yang disampaikan dari cerita di atas barangkali tepat untuk kondisi sekarang ini dengan mengutip kitab Ittihafus Saddatil Muttaqin karangan Syaikh Murtadho az-Zabidi yang merupakan syarah dari kitab Ihya Ulumiddin karang Imam al-Ghazali,يأتي على الناس زمان يكون أفضل علمهم فيه الصمت وأفضل أعالهم النوم هذا لدخول المشكلات في الكلام وخروج الإخلاص من الأعمال“Akan datang pada manusia suatu masa ketika keutamaan ilmu bagi mereka orang awam yaitu dengan diam dan keutamaan amal bagi mereka dengan tidur. Hal ini dikarenakan banyaknya orang yang berbicara tetapi asal-asalan penuh kemuskilan dan hilangnya ikhlas dalam beramal.”Wallahu a’lam.
Konon, di negeri Mesir pernah terjadi dua makhluk manusia yang sedang ber-adu untuk menahan lapar. Satu wali Allah, sedangkan satu lainnya seorang rahib. Mereka berdua menahan lapar hingga selama 41 hari, dan ternyata hanya satu dari mereka yang mampu bertahan hingga waktu yang disepakati. Abu Bakr Al Farghani adalah seorang ahli ibadah yang tidak memiliki apa-apa. Walaupun begitu, dia menampakkan diri sebagai seorang saudagar. Ia memakai pakaian rangkap berwarna putih, mengenaikan surban dan sandal bersih di tangannya ada kunci besar yang bentuknya indah. Sedangkan Al Farghani sendiri tidak memiliki rumah dan tidur dari masjid ke masjid. Namun karena penampilannya, masyarakat umum memandang Al Farghani sebagai seorang saudagar, hanya kalangan khusus saja yang mengetahui hakikat keadaan ahli ibadah ini. Baca Juga; Suatu saat, Al Farghani melakukan perjalanan ke Mesir dengan pakaian indahnya tersebut. Para ahli ibadah pun tahu bahwa yang datang adalah ahli ibadah, hingga mereka berkumpul untuk mendengar petuahnya. Sampai pada suatu saat Al Farghani melakukan perjalanan dengan diikuti oleh ahli ibadah yang lain. Karena tidak tahan, banyak ahli ibadah yang berhenti dan tidak sanggup mengikuti perjalanan kecuali sedikit. Sampai akhirnya Al Farghani bertanya kepada mereka,”Apakah kalian merasa lapar?” Mereka yang mengikuti perjalanan pun mengiyakan. Akhirnya rombongan itu bersitirahat di sebuah kampung yang terdapat baiara para rahib. Melihat rombongan itu, seorang rahib menyeru kepada rahib-rahib lainnya,”Berilah makanan kepada para rahib Muslim ini, sesungguhnya ada sebagaian dari mereka yang tidak sabar terhadap rasa lapar”. Al Farghani pun tersinggung dengan ucapan rahib tersebut, hingga ia menyampaikan,”Wahai rahib, apakah engkau sudah mengetahui ilmu mengenai bersabar dalam lapar?” Rahib itu pun bertanya,”Bagaimana?” Al Farghani pun menjawab,”Wahai rahib, turunlah dari biaramu dan makanlah sesukamu, kamudian ikutlah bersamaku untuk masuk ke dalam sebuah ruangan untuk dikunci dan tidak membawa apa-apa kecuali air untuk kita bersuci. Barang siapa tidak tahan, maka ia memberi tanda untuk keluar dan mengikut ajaran temannya yang masih tetap dalam kondisi semula. Sedangkan aku sudah tiga hari tidak mencium bau makanan”. Akhirnya Al Farghani dan rahib pun sepakat untuk masuk ruangan kosong dan terkunci, sedangkan para ahli ibadah dan para rahib lain mengamati terus-menerus. Dan selama 40 hari mereka tidak melihat ada tanda apa-apa. Baca Juga; Sampai akhirnya di hari ke 41, terdengar suara ketukan pintu dari dalam ruangan itu dan ketika dibuka, maka yang muncul adalah rahib yang meminta pertolongan. Mereka yang berada di sekitarnya pun segera memberi minum sedangkan Al Farghani hanya melihat saja. Tak lama kemudian rahib pun kembali kepada Al Farghani dan mengucap,”Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Setelah itu, Al Farghani pun memberi nasihat kepada para rahib yang berada di biara itu, hingga akhirnya seluruhnya mengikrarkan diri untuk masuk Islam. Dan Al Farghani akhirnya kembali ke Baghdad bersama para ahli ibadah dan para rahib yang telah masuk Islam.Thabaqat Al Auliya, hal. 304/sir Baca Juga;
Di antara para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran sangkan paraning dumadi’ secara arab tidak cocok diterapkan di Jawa karena manusia Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah mendarah daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng’.Nama mudanya Raden Syahid, putra adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta dan Dewi Nawangrum. Kadpiaten Tuban sebagaimana Kadipaten yang lain harus tunduk di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Nama lain Tumenggung Wilatikta adalah Ario Tejo IV, keturunan Ario Tejo III, II dan I. Ario Tejo I adalah putra Ario Adikoro atau Ronggolawe, salah seorang pendiri Kerajaan Majapahit. Jadi bila ditarik dari silsilah ini, Raden Syahid sebenarnya adalah anak turun pendiri kerajaan Syahid lahir di Tuban saat Majapahit mengalami kemunduran karena kebijakan yang salah kaprah, pajak dan upeti dari masing-masing kadipaten yang harus disetor ke Kerajaan Majapahit sangat besar sehingga membuat miskin rakyat jelata. Suatu ketika, Tuban dilanda kemarau panjang, rakyat hidup semakin sengsara hingga suatu hari Raden Syahid bertanya ke ayahnya “Bapa, kenapa rakyat kadipaten Tuban semakin sengsara ini dibuat lebih menderita oleh Majapahit?”. Sang ayah tentu saja diam sambil membenarkan pertanyaan anaknya yang kritis Syahid yang melihat nasib rakyatnya merana, terpanggil untuk berjuang dengan caranya sendiri. Cara yang khas anak muda yang penuh semangat juang namun belum diakui eksistensinya; menjadi “Maling Cluring”, yaitu pencuri yang baik karena hasil curiannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin yang menderita. Tidak hanya mencuri, melainkan juga merampok orang-orang kaya dan kaum bangsawan yang hidupnya ketika, perbuatan mulia namun tidak lazim itu diketahui oleh sang ayah dan sang ayah tanpa ampun mengusir Raden Syahid karena dianggap mencoreng moreng kehormatan keluarga adipati. Pengusiran tidak hanya dilakukan sekali namun beberapa kali. Saat diusir Raden Syahid kembali melakukan perampokan namun sialnya dia tertangkap pengawal kadipaten hingga sang ayah kehabisan akal sehat.“Syahid anakku, kini sudah waktunya kamu memilih, kau yang suka merampok itu pergi dari wilayah Tuban atau kau harus tewas di tangan anak buahku”. Syahid tahu dia saat itu harus benar-benar pergi dari wilayah Tuban dan akhirnya, dia pun dengan hati gundah pergi tanpa arah tujuan yang jelas. Suatu hari dalam perjalanannya di hutan Jati Wangi, dia bertemu lelaki tua yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Sunan Bonang. Sunan Bonang adalah putra dan murid Sunan Ampel yang berkedudukan di Bonang, dekat yang ingin merampok Sunan Bonang akhirnya harus bertekuk lutut dan Syahid akhirnya berguru pada Sunan Bonang. Oleh Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah orientasi hidupnya secara total seratus delapan puluh derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin metafisik. Dia telah meninggalkan syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat. Namun syarat yang diajarkan Sunan Bonang cuma satu duduk, diam, meneng, mengalahkan diri/ego dan patuh pada sang guru sejati kesadaran ruh. Untuk menghidupkan kesadaran guru sejati ruh yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk diam di pinggir perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk dzikir atau ritual apapun. Cukup diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau Dzat Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH, SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas landas dan lenyap. Raden Syahir mengalami suwung total, fana total karena telah hilang sang diri/ego.“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”Demikian gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya selama lima tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri dengan bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan Syekh Subakir gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga diberi gelar Syekh Malaya.“KESADARAN INSAN KAMIL”Malaya berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah mengalami “mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru sejati-NYA. Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya hidup di dunia fatamorgana, dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak mampu untuk masuk ke dunia isi, dan menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang, adalah ajaran hakikat shalat sebagaimana yang ada di dalam SULUK WUJIL UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA KRAMA. Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya tata krama.Di sini, kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. Sebagaimana yang ada di dalam Suluk Wujil PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhirJadi hakikat yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita lakukan ini adalah bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA. Sholat daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga SALAT DAIM TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT NGISING. Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat apapun, misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran.Ajaran makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung suatu ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI. Dalam suluk wujil disebutkan sebagai berikutNORANA WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH, DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN PACACANTHEL, DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING NGANDHAP, BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON IKU SINGGIH TINGALNYA AWELASAN.Tidak tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI. KESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu melingkar dengan Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat yang barat terlihat timur dan sebaliknya. Itu pengelihatan yang terbalik.Maksudnya, bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga. Namun sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN MASIHLAH PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI SEPERTI LANGIT DAN PALING BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN SANGAT RENDAH bekal agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati? Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan yang sesat. Ibadah haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai INSAN KAMIL, yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual tertinggi yang juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar. Berbeda dengan Syekh Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah kekuasaan. Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan Demak, Pajang dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah penguasa Demak agar tidak menyerang Brawijaya V ayahnya karena beliau tidak pernah berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir menjadi Adipati Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke Pajang karena Demak dianggap telah kehilangan kultur yang terletak di pedalaman cocok untuk memahami Islam secara lebih mendalam dengan jalur Tasawuf. Sementara kota pelabuhan jalurnya syariat. Jasa lain Sunan Kalijaga adalah mendorong Jaka Tingkir Pajang agar memenuhi janjinya memberikan tanah Mataram kepada Pemanahan serta menasehati anak Pemanahan, yaitu Panembahan Senopati agar tidak hanya mengandalkan kekuatan batin melalui tapa brata, tapi juga menggalang kekuatan fisik dengan membangun tembok istana dan menggalang dukungan dari wilayah sekeliling. Bahkan Sunan Kalijaga juga mewariskan pada Panembahan Senopati baju rompi Antakusuma atau Kyai Gondhil yang bila dipakai akan kebal senjata apapun. TOPIK LAINNYAciri ciri keturunan brawijaya v, jodoh satrio piningit, Ciri keturunan Aji Saka, Pangeran sangga buana, asal usul mahesa suro, Ciri-ciri fisik keturunan Banten, ciri-ciri keturunan jaka tingkir, Ciri-ciri KETURUNAN Tubagus, ciri keturunan batoro katong, silsilah keturunan dewi lanjar
Buku berjudul "Mereka yang Disandera Cinta kepada Allah Ta'ala" ini merangkum biografi para sufi yang begitu gigih menjalani kehidupan dengan selalu mengharap keridaan Tuhan. Sufi, berdasarkan catatan Wikipedia adalah penyebutan untuk orang-orang yang mendalami sufisme atau ilmu tasawuf. Total ada 81 sufi yang dikisahkan dalam buku yang bisa menjadi bahan introspeksi bagi para pembaca yang ingin meningkatkan kualitas ibadahnya kepada-Nya. Syaikh Ibrahim as-Samarqandi adalah salah satu sufi yang berasal dari Samarkand. Sebagai seorang sufi, ia memulai perjalanan spiritualnya melalui sikap dan perilaku yang sopan, baik terhadap sesama maupun terutama terhadap Allah Taala. Secara sufistik bersikap sopan di hadapan-Nya adalah mengakui dengan sepenuh hati segala kemahaan-Nya yang tak bertepi. Itu di satu sisi. Sementara di sisi lain adalah menyerahkan diri secara habis-habisan melalui pintu kepatuhan terhadap berbagai perintah dan ketentuan hadirat-Nya. Walaupun di antara sekian perintah itu tak kunjung terpahami. Sedangkan di hadapan sesama makhluk, sikap sopan itu akan muncul sebagai kerendahan hati yang begitu indah dan mengagumkan. Tak terlintas untuk bersikap jumawa sedikit pun. Karena sadar bahwa sejumlah kekurangan itu merupakan atribut-atribut yang permanen. Di situ yang akan senantiasa menjadi hiasan tak lain adalah penghormatan, cinta, dan kasih sayang hlm. 48-49. Sufi selanjutnya yang dikisahkan dalam buku ini bernama Syaikh Bisyr al-Hafi. Berasal dari salah satu desa di Merv atau Aleksandria. Pada awalnya, ia seorang pemabuk dalam artian betul-betul negatif. Hingga suatu hari ketika masih sempoyongan usai mabuk, ia menemukan secarik kertas bertuliskan kalimat basmalah di tengah jalan. “Ini nama Tuhanku. Ini sangat mulia. Tidak boleh ada di jalan seperti ini” ungkapnya. Singkat cerita, untuk memuliakan kertas bertuliskan basmalah tersebut, ia berusaha membersihkannya dari kotoran, bahkan membalurinya dengan minyak wangi dan diletakkan di lemari paling atas. Saat tidur, ia bermimpi mendengar suara bergema; “Karena sudah kau harumkan nama-Ku, maka akan Kuharumkan namamu di dunia ini dan di akhirat nanti”. Setelah peristiwa secarik kertas itu, ia masih belum kunjung insaf dari kebiasaan mabuknya. Hingga suatu hari, ia didatangi seorang wali yang sebelumnya bermimpi sebanyak tiga kali, intinya agar mencari keberadaan Bisyr al-Hafi. “Carilah Bisyr bin al-Harits dan katakan kepadanya bahwa dia sudah dipanggil oleh Allah”. Ketika sang wali menyampaikan hal tersebut pada Bisyr, atas izin-Nya kemudian Bisyr pun bertobat dan tak lagi mabuk-mabukan. Hidup dan matinya lantas semata terfokus kepada Allah belaka hlm. 58. Said bin Sallam Abu Utsman al-Maghribi juga termasuk sufi yang memiliki kisah menarik di balik keputusannya menempuh jalan spiritual atau keilahian. Ia berasal dari kota Kairouan, Tunisia. Tinggal di Mekkah selama beberapa tahun. Kemudian pindah ke Nisapur. Tentang peristiwa yang menyebabkan dirinya menempuh jalan keilahian, ia menuturkan sendiri kisahnya sebagaimana berikut ini “Yang menjadi pemicu taubat dan permulaanku memasuki lorong rohani adalah bahwa aku memiliki kuda dan anjing. Dengan kedua binatang itu setiap hari aku pergi untuk berburu. Di dalam berburu aku membawa sebuah kendi yang kuisi susu untuk diminum. Pada suatu hari aku ingin minum susu dalam kendi itu. Seketika itu juga anjingku menggonggong dengan sangat keras. Aku mau minum susu lagi, anjingku malah menggonggong lagi dengan lebih keras. Saat aku mau meminum lagi untuk ketiga kalinya dengan cepat anjingku lalu mendahului minum susu di kendiku. Setelah itu seluruh tubuh anjingku menjadi bengkak. Tak lama kemudian ia lalu mati. Ternyata anjingku berbuat demikian lantaran ia telah melihat seekor ular minum dari susu dalam kendiku. Ia telah rela menggantikan diriku dengan dirirnya sendiri. Setelah peristiwa itu aku langsung bertaubat dan memasuki jalan rohani ini”. Salah satu hikmah yang bisa dipetik dari kisah pertaubatan Said bin Sallam Abu Utsman al-Maghribi ialah bahwa makhluk apa saja, termasuk yang sering kali dipojokkan dan dihina oleh banyak orang seperti anjing, dengan penuh kasih sayang bisa digunakan oleh Allah Swt untuk menolong siapa pun yang dikehendaki-Nya. Dalam konteks ini, apa saja bisa menjelma sebagai pertolongan Tuhan semesta alam. Karena itu, pandanglah segala sesuatu sebagai kemungkinan yang bisa menjelma “tangan” kemahaan-Nya hlm. 179-180. Menarik sekali membaca kisah perjalanan para sufi dalam buku karya Kuswaidi Syafiie ini. Kisah mereka setidaknya dapat menjadi bahan renungan sekaligus mampu menggugah kesadaran dan nurani kita, agar selalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dan selalu berupaya bersikap baik terhadap makhluk-Nya, sehingga kelak kita dapat termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung. Sam Edy Yuswanto Penulis lepas mukim di Kebumen
Setiap kita pasti punya perjalanan. Setiap kita juga punya kisah hanya sepenggal kisah. Tentang perjalanan spiritual selama 7 hari bertepatan dengan libur lebaran tahun 2018. Dari Jakarta - Surabaya - Jakarta dengan rute yang berbeda, sekitar km sudah ditempuh. Wisata ziarah ke makam 5 dari 9 wali songo yang ada di tanah dan keluarga akhirnya sampai di puncak pendakian spiritual semalam, tepatnya malam Jumat, 21 Juni 2018 di Makam Sunan Gunung Jati atau dikenal Syarif Hidayatullah, salah satu wali songo yang berdakwah di tanah Jawa bagian barat tepatnya di Cirebon. Di puncak tertinggi area pemakaman Kasepuhan Cirebon di daerah Gunung perjalanan wisata ziarah penuh muatan refleksi dan pembelajaran tentang sejarah dan perjuangan para wali songo dalam menebar ajarannya melalui cara-cata yang baik, santun, dan bijak. Sungguh, bisa menjadi cermin kehidupan manusia zaman memulai wisata ziarah, dengan singgah ke makam 1 Sunan Gresik di Gresik, lalu dilanjutkan ke makam 2 Sunan Ampel di Surabaya, kemudian menyusuri jalur utara ke makam 3 Sunan Bonang di Tuban, berlanjut ke makam 4 Sunan Kalijaga di Demak, dan berpuncak di 5 Sunan Gunung Jati di Cirebon. Lima dari 9 wali songo telah saya "napak tilas". Alhamdulillah. Ada banyak hikmah da pelajaran di dalamnya. Hingga tersisa yang belum saya datangi adalah makam Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Muria, dan Sunan Kudus; 4 anggota wali songo. Insya Allah, jika diberi kesehatan dan kesempatan bisa dilakukan di masa ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah, saya menyebutnya sebagai "puncak pendakian spiritual" kali ini. Puncak, karena memang makam Sunan Gunung Jati terletak di tempat tertinggi, di pintu ke-9 dari undakan yang ada di area pemakaman Kasepuhan Cirebon. Mengapa makam Sunan Gunung Jati menjadi puncak pendakian spiritual? Di samping menjadi kunjungan terakhir dalam perjalanan wisata ziarah saya kali ini, juga mendapat perlakuan dan pengetahuan istimewa di makam Sunan Gunung Jati. Apa pasalnya? Ada beberapa hal alasannya1. Bersyukur, karena saya dibantu kawan semasa kuliah Sdr. Tabroni dan keluarga yang kini guru di Cirebon bisa mendapat "jalur khusus" menuju makam Sunan Gunung Jati yang berada di pintu ke-9 atas relasi dengan Ust. Nanang, salah seorang juru kunci makam. Sungguh, tidak banyak orang yang bisa mencapai persis di sisi makam Sunan Gunung Jati yang sangat sakral dan penuh Patut diketahui, rombongan ribuan umat yang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati biasanya hanya bisa sampai di pintu ke-3 saja untuk mengaji atau berdoa sebagai penghormatan terhadap para pendakwah Islam di level wali songo. Karena ada aturan main yang harus dipenuhi dan tidak banyak peziarah bisa sampai ke sisi makam di samping mendapat penjelasan tentang Selama di makam, kami mengaji dan meng-agungkan asma Allah sebagai bagian perjalanan pendakian spiritual untuk mengenal sejarah dan meneladani perjuangan Sunan Gunung Jati di masanya. Sangat bersyukur bisa "bertandang" ke makam ulama atau wali yang telah membangun peradaban Islam yang baik di tanah Untuk diketahui, Makam Sunan Gunung Jati tidak sendiri. Tapi di sampingnya terdapat pula makam Fatahillah panglima perang Batavia dan Nyai Rarasantang atau Syarifah Mudaim Ibu Sunan Gunung Jati yang juga anak dari Prabu Sebagai salah satu wali songo, Sunan Gunung Jati berdakwah dalam banyak hal. Di antara yang menjadi pesannya adalah pentingnya membantu fakir miskin, menjaga shalat harus khusu dan tawadhu, selaku bersyukur, banyak bertaubat, dan jadilah orang hikmah perjalanan spiritual ke makam Sunan Gunung Jati. Pelajarannya, lakukanlah perjalanan agar kita tahu bagaimana cara mencapai tujuan. Lebih baik melakukan perjalanan dengan baik daripada hanya bertekad merebut tujuan atau saja hikmah wisata ziarah ke makam para wali?Tentu ada banyak, tentu berbeda-beda. Tiap orang berbeda niat dan motifnya. Tapi khusus saya dan keluarga hanya untuk napak tilas dan memahami spirit perjuangan para wali di masanya. Ketika ke makam Sunan Kalijaga, hikmahnya "jadilah hamba yang selaku siap untuk menghargai diri sendiri dan orang lain, tekun beribadah kepada Allah, berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara, terus mencari ilmu dan jadilah hamba yang mau hidup prihatin atau tidak berlebihan dalam hal apapun. Sosok Sunan Bonang sang pencipta lagu "tombo ati" mencerminkan pentingnya berdakwah dengan menguasai ilmu secara penuh. Jangan berlayar ke lautan bila tak cukup ilmu dan keahlian. Cukup diam bila tak tahu banyak. Kerjakan saja urusan makrifatullah, urusan kita sebagai hamba kepada sang Sunan Ampel. Melalui ajaran "moh limo", beliau pesan agar kita selalu menjaga akhlak dan moral dalam keadaan apapun. Zaman boleh maju, dunia boleh digenggam. Tapi akhlak dan moral baik adalah ke makam Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, bisa belajar tentang sosok yang santun dalam bergaul dan berbahasa pada siapapun. Ia tahu tiap manusia hakikatnya berbeda tapi itu bukan untuk dipertentangkan. Melainkan tunjukkanlah segala sesuatunya dengan memperlihatkan keindahan dan kabaikan, khususnya menyangkut soal pendakian spiritual ada dan bisa diraih dalam wisata ziarah para wali songo. Intinya, belajar dari para wali songo dan mengambil hikmahnya. Bahwa tiap manudia diingatkan akan pentingnya hidup tetap bijaksana, adil, damai dan penuh toleransi. Karena itulah modal untuk bisa menjadikan diri kita dan peradaban umat menjadi lebih baik ke depannya, seimbang dunia maupun akhira sesuai dengan sejarah memang sesuatu yang telah lalu. Tapi sejarah adalah "jalan" untuk menjadi sekarang. Siapa yang lupa sejarah, maka ia pasti lupa diri. Ziarah wisata 5 dari 9 wali songo, saya menyebutnya "sebuah pendakian spiritual". Alhamdulillah dan salam ciamikk... CatatanPerjalananIdulFitri WisataZiarahWaliSongo
kisah perjalanan spiritual para wali allah