khutbah jumat cerita motivasi

Demikianlahkhutbah jumat yang dapat saya sampaikan, semoga kita dapat mengambil hikmah dari yang saya sampaikan. بَارَكَ الله لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. Khotbahyang ada selama ini belum berhasil di manfaatkan secara maksimal.Ada dua factor penyebabnya yaitu jamaah yang umumnya kurang ihtimam "perhatian" dan ketidakmaksimalan khotbah dari sang khatib sendiri. Untuk itu dibutuhkan suatu pencerahan baru bagi jamaah melalui pesan pesan khotbah yang sistematis mudah dicerna dan dipahami seperti dalam risalah ini JamaahJum'at yang dirahmati Allah, Waktu seperti begitu cepat berlalu. Kita kini telah berada di penghujung Ramadhan. Shalat Jum'at kita kali ini adalah shalat Jum'at terakhir di bulan Ramadhan 1436 H. Sekarang kita telah berada pada hari ke-23 Ramadhan, yang artinya tinggal beberapa hari lagi bulan suci ini akan pergi. Karenatraining perbuatan kebaikan selama sebulan, melalui puasa ini diharapkan terus menjadi kebiasaan dan membekas menjadi pribadi yang memiliki karakter - karakter yang baik kepada Allah dan makhluq-Nya. Jama'ah jum'at yang dirahmati oleh Allah SWT. Masih sangat banyak makna dan hikmah perintah - perintah Allah SWT. kepada manusia. JAKARTA Khutbah Jumat Bulan Muharram singkat padat membahas tentang motivasi hijrah menjadi manusia yang lebih baik. Tahun Baru Islam atau 1 Muharram memang identik dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. Bulan Muharram juga banyak terjadi peristiwa penting yang dialami para nabi. Wie Kann Ich Einen Mann Kennenlernen. Materi khutbah singkat di bawah ini membeberkan suatu contoh akhlak luhur sahabat Nabi, ketika dihadapkan dengan harta duniawi. Abu Dzar al-Ghifari, sahabat berperangai mulia itu, menunjukkan kepada kita semua bahwa tidak larut dengan gemerlap kekayaan adalah sesuatu yang sangat mungkin. Salah satunya dengan tidak hanya berpikir untuk diri sendiri, melainkan juga peduli kepada kebutuhan orang lain. Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul "Khutbah Jumat Teladan Kezuhudan Abu Dzar al-Ghifari". Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini pada tampilan dekstop. Semoga bermanfaat! Redaksi اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى خَاتَمِ اْلأَنْبِيَآءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ مُحَمَّدٍ وَّعَلى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah, Di awal khutbah ini, mari kita tingkatkan ketakwaan terhadap Allah dengan sebenar-benarnya, yaitu dengan berupaya secara optimal menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah, Di antara wujud ketakwaan terhadap Allah adalah sikap zuhud. Zuhud secara substansial dapat diartikan sebagai keadaan jiwa yang tidak didominasi oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Adapun indikator utamanya adalah وُجُودُ الرَّاحَةِ فِي الْخُرُوجِ عَنِ الْمِلْكِ “Tetap merasa nyaman dan tidak merasa kehilangan saat harta dunia keluar dari kepemilikan kita.” Demikan menurut Syekh Abdullah bin al-Khafif 276-371 H, sufi Ahlussunnah wal Jamaah asal kota Shiraz Persia, atau Iran sekarang. Abul Qasim al-Qusyairi, ar-Risâlatul Quraisyiyyah, juz I, halaman 55. Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah, Di antara sahabat Nabi Muhammad saw yang terkenal kezuhudannya adalah Abu Dzar Al-Ghifari ra wafat 32 H, orang keempat atau kelima yang memeluk Islam langsung di hadapan Nabi Muhammad saw. Saking zuhudnya, Abu Dzar menganggap bahwa orang tidak boleh menyimpan biaya hidup yang melebihi kebutuhannya dalam sehari semalam. Karenanya, sahabat Nabi saw yang lain, yaitu Mu’awiyah ra menguji konsistensi sikap kezuhudan sahabatnya itu. Sayyidina Mu’awwiyah ra mengutus orang untuk memberinya uang dinar, kurang lebih sama dengan 3,5 miliar rupiah. Utusan itupun pergi membawa uang itu mendatangi Abu Dzar. Setelah sampai di sana, ia mengutarakan maksudnya “Mu’awiyah mengirimkan uang ini untukmu.” Mendapati tamunya memberikan uang yang sangat banyak, Abu Dzar segera menerimanya. Namun setelah si tamu berpamitan, Ia segera membagikan uang itu kepada orang-orang yang membutuhkan dan tidak menyisakan sedikit pun untuk diri dan keluarganya. Tak terduga, di waktu kemudian atas perintah Muawiyah utusan itu kembali lagi kepadanya dan menyatakan bahwa ia telah salah orang. “Sungguh aku telah salah memberikan uang dinar itu kepadamu, sebenarnya aku diutus untuk memberikannya kepada orang yang lain, aku takut Mu’awiyah nanti akan menghukumku,” kata utusan itu penuh kekhawatiran. “Bagaimana kamu itu, demi Allah uang itu tidak sampai menginap di sini sedikit pun langsung ku bagikan kepada orang yang membutuhkan pada hari itu juga; tapi tenang, sabarlah dan tunggu nanti akan aku ganti,” jawab Abu Dzar dengan tenang. Muhammad bin Abdillah al-Jardani ad-Dimyathi, al-Jawâhir al-Lu’lu’iyyah fî Syarhil Arba’înan Nawawiyyah, [Mansurah, Maktabah al-Îman], halaman 157. Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah, Teladan kezuhudan Abu Dzar al-Ghifari ini selaras dengan kalam hikmah yang sangat populer حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ Artinya, “Cinta dunia adalah pokok setiap kesalahan” Riwayat Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi. Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah, Tentu kita cukup sulit untuk meniru secara persis kezuhudan Sayyidina Abu Dzar al-Ghifari. Namun, secara substansial kezuhudan Abu Dzar ra dalam hal menjaga diri dari terkuasai oleh harta duniawi dapat kita teladani. Begitu pula keteladanannya untuk ringan berbagi rezeki kepada orang-orang yang lebih membutuhkan. Dengan meneladaninya semoga kita tercatat sebagai orang yang telah berupaya meningkatkan ketakwaan dengan sebenar-benarnya. Amin ya rabbal alamin. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. وَالْعَصْرِ ١ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ٢ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ٣. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ بِاْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأَسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم Khutbah II اَلحمْدُ لِلّٰهِ حَمْدًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهدُ أَنْ لَآ إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، إِرْغامًا لِمَنْ جَحَدَ بِهِ وَكَفَرَ، وأَشْهَدُ أَنَّ سَيّدَنَا محمَّدًا عَبدُهُ ورسُولُهُ سَيِّدُ الْإِنْسِ والْبَشَرِ. اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا محمَّدٍ واٰلِهِ وَصَحْبِهِ مَا اتَّصَلَتْ عَينٌ بِنَظَرٍ وأُذُنٌ بِخَبَرٍ أَمَّا بَعْدُ فيَآ أَيُّهاالنّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَاَلى وَذَرُوا الْفَواحِشَ ما ظهَرَ مِنْها وَمَا بَطَنَ، وحافَظُوا عَلَى الطَّاعَةِ وَحُضُورِ الْجُمُعَةِ والْجَماعَةِ . وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيه بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلائكةِ قُدْسِهِ، فَقالَ تَعَالَى ولَمْ يَزَلْ قائِلاً عَلِيمًا إِنَّ اللهَ وَملائكتَهُ يُصَلُّونَ على النَّبِيِّ يَآ أَيّها الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وسَلِّمُوا تَسْلِيْمً. اَللَّهمَّ صَلِّ وسَلِّمْ عَلَى سيِّدِنا محمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا محمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيمَ في الْعالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اَللَّهمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاء الرّاشِدِينَ الَّذينَ قَضَوْا بِالْحَقِّ وَكانُوا بِهِ يَعْدِلُونَ، أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ و عُثْمانَ وَعَلِيٍّ وَعَنِ السَتَّةِ الْمُتَمِّمِينَ لِلْعَشْرَةِ الْكِرامِ وَعَنْ سائِرِ أَصْحابِ نَبِيِّكَ أَجْمَعينَ، وَعَنِ التَّابِعِينَ وتَابِعِي التَّابِعِينَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسانٍ إِلَى يَومِ الدِّينِ. اَللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ فِي عُنُقِنَا ظَلَامَةً، ونَجِّنَا بِحُبِّهِمْ مِنْ أَهْوالِ يَومِ الْقِيامَةِ. اَللَّهمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ والمُسْلِمِيْنَ، وأَهْلِكِ الْكَفَرَةَ والمُشْركِينَ، ودَمِّرْ أَعْداءَ الدِّينِ. اَللَّهُمَّ آمِنَّا فِي دُوْرِنَا وَأَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُورِنا، وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلَايَتَنا فِيمَنْ خافَكَ وَاتَّقَاكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ والْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِناتِ، اَلْأَحْياءِ مِنْهُمْ والْأَمْواتِ، بِرَحْمَتِكَ يَا وَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ. اَللَّهمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ والوَباءَ وَالرِّبَا وَالزِّنَا والزَّلَازِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ الْفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْها وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً، وعَنْ سائِرِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يا رَبَّ الْعَالَمِينَ. رَبَّنا آتِنا في الدّنيا حَسَنَةً وَفي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ عِبادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ والْإِحْسان وإِيتاءَ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الْفَحْشاءِ والْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ على نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَاسْئَلُوهُ مِنْ فَضْلِهِ يُعْطِكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَعَزَّ وَأَجَلَّ وَأَكْبَرُ ​​​​​​​ فَقَالَ اللهُ تَعَالَى إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يٰأَ يُّها الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ ​​​​​​​ اَللّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلْأَحْياءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اَللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَاْلوَبَاءَ والرِّبَا وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ​​​​​​​ فَيَا عِبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَعَزَّ وَأَجَلَّ وَأَكْبَرْ Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online Baca juga naskah khutbah lainnya Khutbah Jumat Bertuturlah yang Baik atau Diam! Khutbah Jumat Kematian itu Pasti, Bersiaplah! Khutbah Jumat Keutamaan yang Semestinya Kita Lakukan Nama eBook Khutbah Jum’at Kisah Secangkir Kopi Penulis Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA حفظه الله ِAlhamdulillah, kita memuji dan bersyukur kepada Allah yang telah memberi kita berbagai nikmat yang sangat banyak lagi tak terhitung banyaknya, selanjutnya shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan mereka yang mengikuti mereka dengan baik hingga suatu hari kiamat. Pada kesempatan ini penulis -semoga Allah menjaganya- pada awal khutbah menyertakan sebuah kisah tentang secangkir kopi, bagaimana kisahnya dan apa yang hendak dituju oleh penulis? silahkan download eBook ini Download atau atau اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّـدٍ رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ في مُحْكَمِ كِتَابِهِ الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ، فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ، وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى، وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ Maasyiral Muslimin Rahimakumullah Marilah kesempatan istimewa ini kita jadikan untuk saling mengingatkan akan makna takwa. Yakni bagaimana dalam sepekan, bahkan setiap saat untuk terus berupaya meningkatkan rasa takut kepada Allah SWT. Dengan demikian, setiap detik kita merasa terus dipantau layaknya CCTV. Percayalah, kalau demikian dalam keseharian, maka kualitas dan kuantitas ibadah maupun penghambaan kita kepada Allah SWT akan terus meningkat. Mudah-mudahan kita tergolong orang yang bertakwa yang akan mendapatkan petunjuk dalam setiap langkah kehidupan kita. Dan dengan keimanan serta ketakwaan yang kokoh ini, semoga kita akan mampu menjadi umat Islam yang sempurna yang mampu mewujudkan rukun iman dan melaksanakan rukun Islam. Maasyiral Muslimin Rahimakumullah Kesempurnaan Islam bisa kita raih dengan menjalankan lima ibadah yang terangkum dalam rukun Islam. Dan ibadah yang menjadi pungkasan dalam rukun Islam tersebut adalah berangkat ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah haji. Allah SWT berfirman dalam QS Ali 'Imran ayat 97 sebagai berikut وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ Artinya Dan di antara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya tidak memerlukan sesuatu dari seluruh alam. Hadirin yang Dirahmati Allah Ayat ini menjadi pengingat pada kita selaku umat Islam untuk berusaha semaksimal mungkin bisa melaksanakan ibadah haji. Dengan menjalankan rukun Islam yang kelima ini, tentu kita akan bisa menyempurnakan keislaman kita. Sehingga pergi ke Tanah Suci untuk berhaji selalu menjadi cita-cita dan impian umat Islam sejak lahir ke dunia ini. Namun dalam ayat ini, Allah memberi catatan bahwa ibadah haji merupakan kewajiban bagi orang-orang yang mampu untuk menunaikannya. Lalu pertanyaannya, apa kategori orang yang mampu dalam menjalankan ibadah haji? Para ulama membagi pengertian “mampu berhaji” menjadi dua kategori. Pertama adalah mampu melaksanakan haji dengan dirinya sendiri dan yang kedua adalah mampu melaksanakan haji dengan digantikan orang lain. Seseorang bisa disebut mampu melaksanakan ibadah haji dengan dirinya sendiri apabila memenuhi lima hal. Pertama adalah kesehatan jasmani. Kedua, sarana transportasi yang memadai. Ketiga, aman dan terjaminnya keselamatan nyawa, harta, dan harga dirinya selama perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji. Keempat, perginya perempuan dengan suami, mahram, atau beberapa perempuan yang dapat dipercaya dalam ibadah haji. Dan kelima rentang waktu yang memungkinkan untuk menempuh perjalanan haji. Jadi bisa kita pahami bahwa kriteria mampu untuk berhaji bukan hanya terkait dengan kemampuan finansial, namun banyak elemen yang perlu dipersiapkan untuk bisa dikatakan mampu berhaji. Jika seseorang sudah berusaha dan belum dapat mencukupi kriteria-kriteria mampu serta belum bisa melaksanakan ibadah haji, maka tidak ada dosa baginya. Allah telah menegaskan dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 286 sebagai berikut لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا Artinya Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Dalam surat al-Maidah, ayat 6 juga ditegaskan oleh Allah SWT sebagai berikut مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ Artinya Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan kalian. Namun demikian, hadirin yang dirahmati oleh Allah, kita patut berbahagia karena di Indonesia, semangat dan antusias umat Islam untuk berhaji sangat tinggi. Berbagai upaya dilakukan individu muslim, baik secara moral maupun material untuk dapat segera diberangkatkan pemerintah ke Tanah Suci. Hal ini terlihat dari antrean daftar tunggu yang berdasarkan data Kementerian Agama bisa mencapai puluhan tahun. Dalam kondisi normal, pemerintah memberangkatkan 221 ribu jamaah untuk berhaji. Para jamaah Indonesia bergabung dengan kurang lebih 2,5 juta jamaah haji dari berbagai penjuru dunia. Namun kita ketahui bersama bahwa tahun ini pelaksanaan ibadah haji diprioritaskan kepada mereka yang berusia tua. Belum lagi sebelumnya terkendala pandemi Covid-19. Dengan aturan yang ada, maka mereka yang telah mendaftar dan antreannya demikian panjang harus kembali menahan diri dan menebalkan kesabaran. Dengan demikian, kondisi ini tidak boleh menurunkan semangat umat Islam untuk terus berusaha dan berdoa guna mewujudkan impian untuk bisa beribadah di Tanah Suci. Sudah bisa dipastikan umat Islam, khususnya para calon jamaah haji yang memang sudah saatnya diberangkatkan, merasakan kesedihan atas penundaan haji ini. Pelaksanaan haji boleh tertunda, tapi niat mesti terus terjaga. Kerinduan untuk mengunjungi Baitullah seyogianya tak ikut mereda. Baik bagi orang yang sudah menunggu antrean berangkat maupun baru berikhtiar menabung untuk itu. Kita harus mampu mengambil hikmah atas kondisi ini dan berdoa semoga dengan ditundanya ini tidak mengurangi sama sekali makna niat kita untuk melaksanakan ibadah haji. Perlu kita sadari bahwa salah satu tujuan dari beragama atau maqashidus syari'ah adalah hifdhun nafs, menjaga keselamatan jiwa. Menjaga keselamatan adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda. Kaidah fiqih juga menegaskan bahwa دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ Artinya Upaya menolak kerusakan harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan. Dengan pertimbangan memberikan kesempatan kepada mereka yang usianya senja semoga menjadi jalan bagi kemudahan jamaah lain. Marilah kita berdoa semoga kondisi ini segera berlalu dan dapat kembali normal. Semoga Allah mengijabah doa kita semua, amin. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ Khutbah I الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي امْتَنَّ عَلَى الْعِبَادِ بِأَنْ يَجْعَلَ فِي كُلِّ زَمَانِ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، يَدْعُونَ مَنْ ضَلَّ إِلَى الْهُدَى، وَيَصْبِرُونَ مِنْهُمْ عَلَى الأَذَى، وَيُحْيُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ أَهْلَ الْعَمَى، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مَّقَامًا وَأَحْسَنُ نَدِيًّا. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الْمُتَّصِفُ بِالْمَكَارِمِ كِبَارًا وَصَبِيًّا. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الَّذِيْنَ يُحْسِنُوْنَ إِسْلاَمَهُمْ وَلَمْ يَفْعَلُوْا شَيْئًا فَرِيًّا، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى أعوذ بالله من الشيطان الرجيم . وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مّمّن دَعَآ إِلَى اللّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ Jamaah shalat Jumat asadakumullâh, Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam pernah bercerita tentang dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil dengan sifat yang sangat kontras yang satu sering berbuat dosa, sementara yang lain sangat rajin beribadah. Rupanya si ahli ibadah yang selalu menyaksikan saudaranya itu melakukan dosa tak betah untuk tidak menegur. Teguran pertama pun terlontar. Seolah tak memberikan efek apa pun, perbuatan dosa tetap berlanjut dan sekali lagi tak luput dari pantauan si ahli ibadah. “Berhentilah!” Sergahnya untuk kedua kali. Si pendosa lantas berucap, "Tinggalkan aku bersama Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?" Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang rajin beribadah itu tiba-tiba mengeluarkan semacam kecaman وَاللهِ لَا يَغْفِرُ اللهُ لَكَ أَوْ لَا يُدْخِلُكَ اللهُ الْجَنَّةَ “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak akan memasukkanmu ke surga.” Kisah ini terekam sangat jelas dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Di bagian akhir, hadits tersebut memaparkan, tatkala masing-masing meninggal dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu wa ta'ala. Kepada yang tekun beribadah, Allah mengatakan, "Apakah kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?" Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang mengejutkan. "Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku," kata Allah kepada si pendosa. Sementara kepada ahli ibadah, Allah mengatakan, "Wahai malaikat giringlah ia menuju neraka." Jamaah shalat Jumat asadakumullâh, Cerita tersebut mengungkapkan fakta yang menarik dan beberapa pelajaran bagi kita semua. Ahli ibadah yang sering kita asosiasikan sebagai ahli surga ternyata kasus dalam hadits itu justru sebaliknya. Sementara hamba lain yang terlihat sering melakukan dosa justru mendapat kenikmatan surga. Mengapa bisa demikian? Karena nasib kehidupan akhirat sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Pada hakikatnya, manusia tak memiliki kewenangan untuk memvonis orang atau kelompok lain sebagai golongan kafir atau bukan, masuk neraka atau surga, dilaknat atau dirahmati. Tak ada alat ukur apa pun yang sanggup mendeteksi kualitas hati dan keimanan seseorang secara pasti. Yang bisa kita cermati hanya tampilan lahiriahnya belaka. Soal kepastian hati, apalagi nasib kelak di akhirat tak seorang pun dari kita sanggup mendeteksi. Jika diamati, ahli ibadah dalam kisah hadits di atas terjerumus ke jurang neraka lantaran melakukan sejumlah kesalahan. Pertama, ia lancang mengambil hak Allah dengan menghakimi bahwa saudaranya “tak mendapat ampunan Allah dan tidak akan masuk surga”. Mungkin ia berangkat dari niat baik, yakni hasrat memperbaiki perilaku saudaranya yang sering berbuat dosa. Namun ia ceroboh dengan bersikap selayak Tuhan menuding orang lain salah sembari memastikan balasan negatif yang bakal diterimanya. Dalam konteks etika dakwah, si ahli ibadah sedang melakukan perbuatan di luar batas wewenangnya sebagai pengajak. Ia tak hanya menjadi dâi tukang ajak tapi sekaligus hâkim tukang vonis. Padahal, Al-Qur’an mengingatkan اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan yang baik, dan bantulah mereka dengan yang lebih baik. Sungguh Tuhanmulah yang mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya. Dan Dia Maha mengetahui orang-orang yang mendapat hidayah.” An-Nahl [16] 125 وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ “Dan katakanlah "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir". Al-Kahfi [18] 29 Ayat ini tak hanya berpesan tentang keharusan seseorang untuk berdakwah secara arif dan santun melainkan menegaskan pula bahwa tugas seseorang hamba kepada hamba lainnya adalah sebatas mengajak atau menyampaikan. Mengajak tak sama dengan mendesak, mengajak juga bukan melarang atau menyuruh. Mengajak adalah meminta orang lain mengikuti kebaikan atau kebenaran yang kita yakini, dengan cara memotivasi, mempersuasi, sembari menunjukkan alasan-alasan yang meyakinkan. Urusan apakah ajakan itu diikuti atau tidak, kita serahkan kepada Allah subhânahu wa taâlâ tawakal. Jamaah shalat Jumat asadakumullâh, Kesalahan kedua yang dilakukan ahli ibadah dalam kisah tersebut adalah ia terlena terhadap prestasi ibadah yang ia raih. Hal itu dibuktikan dengan kesibukannya untuk mengawasi dan menilai perilaku orang lain ketimbang dirinya sendiri. Dalam tingkat yang lebih parah, sikap macam ini dapat membawa seseorang pada salah satu akhlak tercela bernama tajassus, yakni gemar mencari-cari keburukan orang lain. Apalagi, bila orang yang menjadi sasaran belum tentu benar-benar berbuat salah. Seringkali lantaran kesalahpahaman dan perkara teknis, sebuah perbuatan secara sekilas pandang tampak salah padahal tidak. Di sinilah pentingnya tabayun klarifikasi dalam ajaran Islam. Tentu saja memperbanyak ibadah dan meyakini kebenaran adalah hal yang utama. Tapi menjadi keliru tatkala sikap tersebut dihinggapi 'ujub bangga diri. Ujub merupakan penyakit hati yang cukup kronis. Ia bersembunyi di balik kelebihan-kelebihan diri kemudian pelan-pelan mengotorinya. Bisa saja seseorang selamat dari perbuatan dosa tapi ia kemudian terjerumus ke dalam jurang yang lebih dalam, yakni ujub. Mesti diingat, menghindari perbuatan dosa memang hal yang amat penting, tapi yang lebih penting lagi bagi seseorang yang terbebas dari dosa adalah menghindari sifat bangga diri. Sebuah maqalah bijak berujar, “Perbuatan dosa yang membuatmu menyesal jauh lebih baik ketimbang beribadah yang disertai rasa ujub.” Watak buruk dari kelanjutan sifat ujub biasanya adalah merendahkan orang lain. Amal ibadah yang melimpah, apalagi disertai pujian dan penghormatan dari masyarakat sekitar, sering membuat orang lupa lalu dengan mudah menganggap remeh orang lain. Orang-orang semacam ini umumnya terjebak dengan penampilan luar. Mereka menilai sesuatu hanya dari yang tampak secara kasat mata. Padahal, bisa saja orang yang disangkanya buruk, di mata Allah justru lebih mulia karena lebih banyak memiliki kebaikan namun lantaran bukan tipe orang yang suka pamer amal itu pun luput dari pandangan mata kita. Jamaah shalat Jumat hadâkumullâh, Dakwah berasal dari lafadh daâ-yadû yang secara bahasa semakna dengan an-nidâ’ dan ath-thalab. An-nidâ’ berarti memanggil, menyeru, mengajak; sementara ath-thalab dapat diterjemahkan dengan meminta atau mencari. Istilah dakwah bisa didefinisikan sebagai upaya mengajak atau menyeru kepada iman kepada Allah dan segenap syariat yang dibawa Rasulullah serta nilai-nilai positif lainnya. Dakwah sangat dianjurkan dalam Islam sebagai pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi anil munkar. Umat Islam diperintah untuk menyebarkan pesan kebaikan ma’ruf dan tak boleh berdiam diri ketika melihat kemunkaran. Hanya saja, dalam praktiknya semua dijalankan dalam koridor yang bijaksana, sehingga usaha amar ma’ruf terealisasi dengan baik dan pencegahan kemungkaran pun tak menimbulkan kemungkaran baru lantaran tidak dijalankan dengan cara-cara yang mungkar. Karena itu, kita mengenal dalam proses dakwah dua hal, yaitu isi dakwah dan cara dakwah. Terkait isi, dakwah memiliki lingkup yang sangat luas, dari persoalan akidah, ibadah hingga akhlak keseharian seperti ajakan untuk tidak menggunjing dan membuang sampah sembarangan. Dakwah memang bukan monopoli tugas seorang dai, siapa pun bisa menjadi pengajak, namun dakwah menekankan pelakunya memiliki bekal ilmu yang cukup tentang hal-hal yang ingin ia serukan. Hal ini penting agar dakwah tak hanya meyakinkan tapi juga tidak sepotong-sepotong. Yang tak kalah penting adalah cara. Betapa banyak hal-hal positif di dunia ini gagal menular karena disebarluaskan dengan cara-cara yang keliru. Begitu pula dengan dakwah. Dalam hal ini kita bisa berkaca kepada Rasulullah. Di tengah fanatisme suku-suku yang parah, kebejatan moral yang luar biasa, dan kendornya prinsip-prinsip tauhid, dalam jangka waktu hanya 23 tahun beliau sukses membuat perubahan besar-besaran di tanah Arab. Bagaimana ini bisa dilakukan? Kunci dari kesuksesan revolusi peradaban itu adalah dawah bil hikmah, seruan yang digaungkan dengan cara-cara bijaksana. Akhlak Nabi lebih menonjol ketimbang ceramah-ceramahnya. Beliau tak hanya memerintah tapi juga meneladankan. Rasulullah juga pribadi yang egaliter, memahami psikologi orang lain, menghargai proses, membela orang-orang terzalimi, dan tentu saja berperangai ramah dan welas asih. Hadirin yang semoga dirahmati Allah, Khatib kembali mengingatkan diri sendiri dan jamaah sekalian bahwa ada rambu-rambu dakwah yang perlu diingat, yakni jangan membenci dan merendahkan orang lain, apalagi mencaci maki dan memojokkannya. Karena jika hal itu kita lakukan maka keluarlah kita dari motivasi dakwah sesungguhnya. Dakwah berangkat dari niat baik, untuk tujuan yang baik, dan semestinya dilakukan dengan cara-cara yang baik. Itulah makna sejati dakwah. Bila ada pendakwah gemar menjelek-jelekan orang atau golongan lain, mungkin perlu diingatkan lagi tentang bahasa Arab dasar bahwa da'wah artinya mengajak bukan mengejek. Sehingga, dakwah mestinya ramah bukan marah, merangkul bukan memukul. Yang paling mengerikan tentu saja adalah dakwah dikuasai amarah dan hawa nafsu sehingga menimbulkan pemaksaan dan aksi-aksi kekerasan, hanya karena menganggap orang lain sebagai musyrik, musuh Allah, dan karenanya harus diperangi. Jika sudah sampai pada level ini, pendakwah tak hanya sudah melenceng jauh dari esensi dakwah, tapi juga pantas menjadi sasaran dakwah itu sendiri. Al-Qur'an sudah sangat benderang menegaskan bahwa tak ada paksaan dalam agama, dan oleh sebab itu menggunakan pendekatan kekerasan sama dengan mencampakkan pesan ayat suci. Dalam sebuah hadits dijelaskan عن حذيفة رضي الله عنه قال قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ قَرَأَ الْقُرْآنَ ، حَتَّى إِذَا رَأَيْتَ بَهْجَتَهُ عَلَيْهِ ، وَكَانَ رِدْءًا لِلْإِسْلَامِ انْسَلَخَ مِنْهُ وَنَبَذَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ ، وَسَعى عَلَى جَارِهِ بِالسَّيْفِ ، وَرَمَاهُ بِالشِّرْكِ " . قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ ! أَيُّهُمَا أَوْلَى بِالشِّرْكِ الرَّامِي أَوِ الْمَرْمِيِّ ؟ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ " بَلِ الرَّامِي " Dari Hudzaifah radliyallâhu anh, Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh yang paling aku khawatirkan pada kalian adalah orang yang membaca Al-Qur’an sampai terlihat kegembiraannya dan menjadi benteng bagi Islam, kemudian ia mencampakkannya dan membuangnya ke belakang punggung, membawa pedang kepada tetangganya dan menuduhnya syirik.” Saya Hudzaifah bertanya “Wahai Nabi, siapakah yang lebih pantas disifati syirik, yang menuduh atau yang dituduh?” Rasulullah menjawab “Yang menuduh.” HR Ibnu Hibban Na’ûdzubillâhi mindzâlik. Semoga kita semua dilindungi Allah dari perbuatan buruk baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ Khutbah II اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى ألِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ، وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ اْلقُرْآنِ الْكَرِيْمِ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ، وَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. صَدَقَ اللهُ الْعَظِيْمُ وَصَدَقَ رَسُوْلُهُ النَّبِيُّ الْكَرِيْمُ وَنَحْنُ عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ وَالشَّاكِرِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. Jamaah shalat Jumat asadakumullâh, Tekun dalam beribadah kemudian mengajak sesamanya untuk melakukan hal yang serupa merupakan sesuatu yang dipuji dalam agama. Hanya saja, dakwah atau mengajak memiliki batasan-batasan. Setidaknya ada dua tips yang bisa dipegang agar seseorang tak melampaui batasan tugas sebagai seorang pengajak. Pertama, muhâsabah introspeksi. Meneliti aib orang yang paling bagus adalah dimulai dari diri sendiri. Muhasabah akan mengantarkan kita pada prioritas perbaikan kualitas diri sendiri, yang secara otomatis akan membawa pengaruh pada perbaikan lingkungan sekitarnya. Sebagaimana dikatakan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, “Ashlih nafsaka yashluh lakan nâs. Perbaikilah dirimu maka orang lain akan berbuat baik kepadamu.” Kedua, tawâdlu rendah hati. Sikap ini tidak sulit tapi memang sangat berat. Rendah hati berbeda dari rendah diri. Tawaduk adalah kemenangan jiwa dari keinginan ego yang senantiasa merasa unggul merasa paling benar, paling pintar, paling saleh, dan seterusnya—yang ujungnya meremehkan orang lain. Tawaduk membuahkan sikap menghargai orang lain, sabar, dan menghormati proses. Dalam perjalanan dakwah, tawaduk terbukti lebih menyedot banyak simpati dan menjadi salah satu kunci suksesnya sebuah seruan kebaikan. Fakta ini bisa kita lihat secara jelas dalam perjuangan Nabi dan pendakwah generasi terdahulu yang tercatat sejarah hingga kini. Wallâhu alam bish-shwâb. اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ Mahbib Khoiron * Teks khutbah ini pernah diikutsertakan pada Sayembara Khutbah Damai yang digelar PeaceGeneration Indonesia, Gerakan Islam Cinta, Dinas Pemuda dan Olahraga Pemkot Bandung, Forum Silaturahim Umat Islam Indonesia FSUII, Lembaga Studi Agama dan Budaya Indonesia LSABI, Penerbit Salam Books, dan MasterPeace Writing Labs Materi khutbah Jumat kali ini mengingatkan manusia tentang posisi dirinya sebagai ciptaan yang lebih baik dibanding makhluk-makhluk lainnya. Para mustami’ penyimak khutbah Jumat diharapkan menyadari keunggulan ini untuk berusaha menjaga kualitasnya sebagai sang khalifah di muka bumi. Apa yang penting diperhatikan selama ikhtiar itu? Tak lain melaksanakan apa yang menjadi tujuan utama manusia diciptakan menyembah atau mengabdi kepada Allah. Momentum khutbah Jumat adalah saat tepat menggugah kembali asal muasal dan tujuan hidup ini. Terkait relasinya dengan makhluk lain, manusia terbaik adalah mereka yang paling bermanfaat bagi lainnya. Berikut contoh teks khutbah Jumat tentang "Menjadi Manusia Terbaik". Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini pada tampilan dekstop. Semoga bermanfaat! Redaksi Khutbah I أّلْحَمْدُ للهِ خَلَقَ أَدَمَ بِيَدِهِ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ وَأَحْظَاهُ بِجَوَارِهِ وَأَسْجَدَ لَهُ مَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبِيْنَ الْأَطْهَارِ أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمِ الْغِزَارِ وَأَشْكُرُهُ عَلَى مُتَرَادِفِ فَضْلِهِ الْمِدْرَارِ وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ وأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ اللهُ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرَ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا آيُّهَا الحَاضِرُوْنَ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ، وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى Hadirin jamaah shalat Jumat as’adakumullah, Ketundukan alam semesta terhadap manusia diceritakan langsung oleh sang pemilik alam, Allah subhanahu wata’ala dalam al-Qur’an اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِاَمْرِهٖۗ وَيُمْسِكُ السَّمَاۤءَ اَنْ تَقَعَ عَلَى الْاَرْضِ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ٦٥ “Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah menundukkan bagimu manusia apa yang ada di bumi dan kapal yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan benda-benda langit agar tidak jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” QS Al-Hajj [22] 65. Satu kata yang menjadi fokus bahasan dalam ayat ini adalah kata “tunduk”. Dalam KBBI, kata tunduk berarti menghadapkan wajah ke bawah, condong ke depan dan ke bawah tentang kepala; melengkung ke bawah tentang malai padi; takluk; menyerah kalah. "Sakhkhara" pada ayat tersebut artinya menundukkan. Muhamma Yunus mengartika سَخَّرَ dengan memaksa kerja tanpa upah. Dari beberapa pengertian tersebut setidaknya mengandung satu pemahaman bahwa Allah menciptakan manusia dengan potensi melebihi potensi yang dimiliki makhluk lainnya. Dengan dengan demikian mereka takluk, kalah, menyerah, dan hormat kepada manusia. Mahasuci Allah yang telah menciptakan manusia di atas yang lain. Hal ini juga disebutkan dalam surah at-Tin ayat 4 لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ٤ “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” QS At-Tin[95] 4. Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah, Banyak yang berpendapat bahwa kelebihan manusia di atas makhluk lainnya adalah karena potensi akal dan berpikir, bahkan Allah sendiri telah menobatkan manusia menjadi khalifah fi al-ardh pemimpin bumi. وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً ٣٠ “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” QS Al-Baqarah [2] 30. Berbeda dengan pendapat para sufi, mereka berpendapat yang menjadi titik unggul manusia dibanding lainnya adalah Pertama, menurut Ibnu Arabi adanya kesempurnaan manusia sebagai lokus penampakan nama-nama asma’ dan sifat-sifat Tuhan. Manusia disebutkan sebagai ciptaan terbaik sebagaimana ditegaskan dalam surah Shad ayat 75 قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ ٧٥ Allah berfirman "Hai Iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang lebih tinggi?" QS Shaad [38] 75. Kalimat “Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” dalam ayat tersebut menunjukkan betapa istimewanya manusia. Dalam diri manusia terdapat pantulan semua asama Allah sedangkan makhluk lainnya hanya sebagian saja. Kedua, Sayyed Hossein Nasr menyebutkan manusia sebagai satu-satunya makhluk teomorfis atau makhluk eksistensialis yang dapat naik turun martabatnya di hadapan Tuhan. Senada dengan pendapat tersebut al-Jilli melihat manusia sebagai makhluk paripurna atau insan al-kamil. Manusia paripurna inilah disebut dengan khalifah yang sesungguhnya. Bahkan menurut Ibnu Arabi manusia yang tidak sampai pada derajat kesempurnaan adalah binatang yang menyerupai manusia, dan tidak layak menyandang predikat khalifah. Nasaruddin Umar, Tasawuf Modern, Jakarta Republika, hal. 94. Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah, Penjelasan tersebut menjadi motivasi penting bagi manusia agar senantiasa menyadari akan kesempurnaan dirinya, mengembangkan dan memelihara agar kelak kembali kepada berada dalam kondisi sebagaimana awal penciptaannya. Teringat satu pertanyaan jamaah dalam sebuah acara kepada Prof. Quraish Shibab, tentang manusia terbaik. Beliau menjawab bahwa manusia terbaik adalah manusia yang dapat menjalankan apa-apa yang menjadi tujuan ia diciptakan. وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ ٥٦ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. QS Adz-Dzariyat[51] 56. Konsep manusia terbaik dalam hadits Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam adalah orang yang bermanfaat bagi lainnya عن جابر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم المُؤْمِنُ يَأْلَفُ وَيُؤْلَفُ ، وَلَا خَيْرَ فِيْمَنْ لَا يَأْلَفُ ، وَلَا يُؤْلَفُ، وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ »ـ Dari Jabir, ia berkata,”Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” HR. Thabrani dan Daruquthni. Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah, Maka di akhir khutbah pada kesempatan kali ini, khatib mengajak kepada jamaah, marilah kita selalu berusaha untuk menjadikan diri ini tetap istimewa sebagaimana awal penciptaan dan menjadikannya bermanfaat untuk diri dan orang lain serta seluruh makhluk Allah di muka bumi ini. بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم Khutbah II اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta Baca naskah Khutbah Jumat lainnya Khutbah Jumat 7 Adab Menjaga Lisan Menurut Sayyid Abdullah al-Haddad Khutbah Jumat 4 Hal yang Dipertanggungjawabkan di Hari Kiamat Khutbah Jumat Anjuran dan Larangan Menerima Pemberian Orang Lain

khutbah jumat cerita motivasi